Pages

May 30, 2013

Though I said that I love him so much and really want to sacrifice all I've got to make it work, sometimes it doesn't. Sometimes it keeps me tired, and realize how powerless I am in this situation. Cannot touch, cannot speak directly. While you got all technology you needed, but it will never be the same. In the rare situation, helpless atmosphere, all you wanna do is be there, and even that simplest act, you cannot do. And that what leaves you in this situation, confused and silenced and wondered what might be different if we take different action, if we were at different condition, luckier one. I guess lucky doesn't apply to everyone. Sometimes to do nothing is all you can do, being an individual again, not two, as we always hope before. High praise to all people who can do this successfully, this all is hard work, very extravagant one. Who says love conquer all? It requires hard work, sacrifice, sincerity, hope. But maybe there is always hope. There is always a thing that I can do to support without being there. By not letting myself down. By being strong. It's hard to be a strong one in a relationship, but sometimes we have to man up and be one. So, here I am, take my best effort to be a strong one. For now. Until wheels spinning and I take my turn to be the weaker one.

After all, what doesn't kill you make you're stronger, right?

Until then, I love you so much. You know who you are.

PS. Damn you distance. Damn you.

May 16, 2013

Halo Halo Bandung

Kayaknya pernah cerita disini kalo saya dan suami itu nggak terlalu familiar sama Bandung. Nggak pernah maen ke Bandung juga walaupun rumah tinggal terletak di deket kota Bandung dan maen ke Bandung itu kayaknya udah jadi kewajiban aja buat orang sini. Jadi suka ngerasa kuper aja, kalo misalnya seseorang ngomongin sesuatu tentang Bandung dan saya cengo aja, nggak ngerti, hehehe..

Kenapa Bandung jadi peristirahatan terakhir? Soalnya ada di persimpangan jalan antara jalan pulang Semarang - Sukabumi sih. Dan penasaran juga lah, masa sih nggak pernah banget jalan-jalan di Bandung sama suami? Ya pernah sih, tapi kan ini dalam rangka road trip. Beda atuhlah pokoknya rasanya.

Endingnya sih nggak kemana-mana dong selain ke Rumah Mode dan Nanny's Pavilion. Sama ke KFC setelah seminggu ngidam pingin sarapan kfc am, hahaha. Awalnya pingin banget ngerasain Suis Butcher yang katanya saus steak-nya hits banget, tapi nggak nemuuuu.. padahal di maps udah jelas-jelas ada yang nge-tag di Jalan Setiabudi. Orang Bandung, sebenernya si Suis Butcher ini ada dimana sik? Untunglah inget kalo dulu sama Wulan waktu bachelorette travel kita pernah makan di Nanny's deket rumah mode, akhirnya mampir lagi kesitu. Duh Wulan, kangen ya, jalan lagi yuk kita? :')



Iya boriiing, si Dela pesennya pasta bolognaise terus. Tapi suka, ntah kenapa.
Uncle Harold Pasta. Beefnya enak banget, digrill gitu, dan kejunya amazingly nggak bikin eneg.


Travel ini emang bikin genduuuuut *liriktimbangan* This is maybe the best pancake I ever eaten. Pancakenya digulung, di dalemnya ada keju anget meleleh sementara diatasnya ada es krim vanilla pake saus blueberry. Kalo udah nemu yang kayak gini, nggak tahu deh bakal pesen menu lain apa nggak kalo kesini lagi. *susah move on*
Sedihnya abis trip ini berakhir sampe teriak-teriak kagak mau pulang selama perjalanan Bandung - Sukabumi, jiahahaha.. We've learned so much, we've eaten so much. *wink* Mudah-mudahan kalo dikasih jatah umur, kesempatan, waktu dan rejeki pingin kayak gini lagi yang lebih jauh. Lampung gitu, atau Madura? Hehehe..


Rest of road trip posts bisa dibaca di link dibawah ini yaa... Enjoy!
  1. All the South Way to Yogyakarta.
  2. [REVIEW] Bamboo Bamboo, Yogyakarta.
  3. [What to do in Yogya?] Ullen Sentalu Museum dan Beukenhof Restaurant.
  4. [What to do in Yogya?] Having Fun, Eating and Shopping.
  5. [What to do in Semarang?] Running, Family-Friend Time, and (still) Eating!
  6. Tegal... Hanya Lewat!
  7. Sumedang, Hell Way Out There.

Best Friend - Even When Things Get Messy

Terinspirasi dari kicauan salah satu teman di twitter soal teman sejati, saya jadi pingin ngomongin soal pertemanan. Dari segi ceteknya aja sih, just my two cents.

Seperti apakah si teman sejati itu? Apakah ada di dunia ini yang namanya teman sejati? Kriterianya seperti apa?

Pertama, si pertemanan itu menurut saya hubungan yang rada tricky lho. Karena nggak pake komitmen diantara keduanya. Bisa jadi saya menganggap dia teman sejati, teman yang paling baik, tapi bisa jadi lho perasaan saya nggak berbalas (duh kasian ya). Ya kan? Bisa jadi dia cuma menganggap kita sebagai teman biasa saja (lah, postingan ini kok mulai berbau galau ya?)

Terus, inget nggak, kalo "people who you love most is probably the one who hurts you"? Ini nggak berlaku buat temen aja sih, akan tetapi sangat bisa terjadi dalam pertemanan, entah si teman itu sengaja ataupun tidak.

Sesungguhnya kalau buat saya, sedikit susah menggolongkan si teman sejati, karena saya adalah tipe orang yang punya banyak teman, tapi rada pilih-pilih soal urusan sahabat. Walaupun ada yang bilang "kalo punya temen itu jangan pilih-pilih" tapi asa udah nggak berlaku deh di jaman sekarang. Punya temen ya harus milih dong, yang bisa membawa kita ke kebenaran bukan kesesatan. Halah. Tapi kurang lebih gitu kan ya? Mungkin prinsip ini nggak berlaku buat semua orang, tapi kalau saya sih menganut prinsip "abaikan saja". Jadi nggak berteman juga bukan berarti memusuhi. Mungkin lebih menganggap nggak ada ya, haha..

Kembali ke teman sejati, I've been meeting a lot of wonderful friends. Yang temenan sejak umur lima tahun sampai sekarang? Ada. Yang ngejagain selama empat tahun kuliah di kampung orang? Ada banget. Temenan karib sama satu kelas sekaligus? Talk to my accelerated classmate, they are awesome. I have no idea we could still be connected with people even when we don't need to maintain the relationship. The chemistry is always there.

Makin dewasa (ceile.. tua kali ya..) pandangan terhadap seorang teman juga berubah. Seleksi alam itu does exist. Survival of the fittest. Secara natural, teman-teman yang ada pun berguguran satu demi satu. I don't know how many times I turned my back to the past and regretted all the people who've been there, in my life, but now I have no idea where they are, or what they do. Rasanya pingin punya waktu 48 jam sehari, 14 hari seminggu, sehingga bisa tetep taking care our relationship, bisa nge-bbm-in semua temen smp, temen hang out dan belajar bareng (pencitraan banget nggak sih) waktu kuliah, teman-teman yang sekarang literally tersebar di seluruh Nusantara Raya ini. Tapi ya, life happens. Prioritas berubah. Ada teman baru yang datang. Lingkungan baru yang menyenangkan. Dan menantang. Mungkin prinsip "witing tresno jalaran suko kulino" ini beneran ada ya. Berlaku buat si teman juga. Positifnya? Si teman-teman yang tertinggal itu biasanya yang paling oke. Yang paling klop. The one who lived (ala Harry Potter).

 Makanya seneng juga kalo nemu teman-teman yang low maintenance. Yang entah kenapa walaupun jarang banget ketemu, jarang banget komunikasi, tapi pas ketemu langsung klop kayak perangko. Yang walaupun nggak tahu kehidupan masing-masing setelah sekian lama, bisa langsung nemuin seribu bahasan yang bisa diobrolin saat ketemu. Thank God for this kind of people. These people, I include them as best friend. Sahabat.

Dan satu lagi yang saya pelajari, ya mungkin telat si, but better late than never, teman sejati itu nggak harus sempurna. Karena diri kita juga nggak sempurna. Nggak usah merasa bersalah kalo misalnya kita sebel sama temen, annoyed, jealous, selalu comparing hidup kita dan hidup dia. Menurut saya hal itu wajar dilakukan kok, wong dia adalah salah satu orang terdekat kita kok. Kadang kita selalu menganggap hidup orang lain itu sempurna kan, apalagi kalo misalnya hidupnya dia berputar di sekeliling kita lewat segala macam social media itu. Nggak semua orang sih kayak gini, saya juga punya teman yang bener-bener cuek sama kehidupan orang, pikiran orang, just let their life flow. Ya mungkin proses pendewasaan juga sih, menerima teman kita literally apa adanya. Selama hal itu belum bisa dilakukan, ya cari cara gampang aja lak wis. Unfollow Twitter. Stop stalking blog-nya. Sampai kita menilai diri kita udah siap lagi dan udah bisa manage segala acak kadut perasaan tadi.

Apalagi ya? Jadi ngelantur banget kayak gini. Intinya, itulah yang sore ini saya pikirkan tentang pertemanan. Dan buat teman-teman yang pernah singgah di hidup saya, makasih banyak. And I miss you all. I really hope I can bring you ALL to my heart and never ever forget you, even when I only keep tiniest piece of you. *kiss*

PS. Pada akhirnya baru ngeh kalo misalnya saya nggak jadi ngejabarin kriteria si teman sejati. Hehehe, mungkin pada akhirnya saya menyadari bukan itu yang terpenting.



May 14, 2013

Sumedang, Hell Way Out There.

Sumedang oh Sumedang. Deritamu tiada akhir. Padahal setelah lewat Tegal dan sampai ke Cirebon sekitar jam tiga-an udah mulai optimis bakal sampai Bandung early, karena terakhir lewat Pantura ini aman-aman aja  (sebenernya udah lupa juga sik terakhir kali lewat sini. Bummer. *facepalm*). Ternyata pas mendekati Kabupaten Sumedang, mulai merayap, merayap, sampai akhirnya stuck aja mobil nggak bisa jalan *nangis* Udah laper, padahal target bisa makan malam di Bandung lah, ini mah boro-boro ajaaaa, nggak keburu men. Gambling sana-sini, akhirnya banting setir ke salah satu rumah makan di pinggir jalan yang awalnya keliatan creepy, karena rumah makannya gede tapi kok pengunjungnya cuma ada kita sama satu keluarga lagi.

Turns out that the best decision ever because hot food gives you energy and hope more than you've thought it.

Rumah Makan Joglo Sumedang ini punya lesehan yang nyaman, ada karpet dan bantal-bantalnya, bapak-bapak dari keluarga satunya pas dateng langsung nyusunin bantal dan tiduran, hehehe, pegel kali ya duduk di mobil melulu. Lama-lama kita berdua ikutan, screw manner lah.

Kalah sama jalanan Sumedang. Bapak-bapak di belakang itu enjoy banget deh pokoknya sama bantal-bantalnya =p
Pas buka menu... eh ada Selat Solo! Seneng banget, karena udah lama pingin makan selat solo, tapi nggak tau rumah makan mana yang nyediain menu itu. Menu yang ditawarkan juga beraneka ragam, rata-rata harga makanannya dari Rp. 20.000,- sd Rp. 30.000,- Rasanya enak sih, nggak tau juga apa karena kita udah kelaperan dan bete setengah mati.



Katanya laper, masik sempet aja moto-motoin si selat solo. Cakep soalnya,katanya gitu. Hahaha..

Pas bentar lagi selesai makan....mati lampu! Emang di luar lagi ujan gede banget, plus petir, badai deh. Krik, creepy... Males banget ngelanjutin perjalanan sebenernya, pingin tiduran ngedemprok aja disana sampai besok paginya. Kalo boleh sik. Sigh.

Stuck + Mati Lampu = Candle Light Dinner!
Udah makan, kita nekat ngelanjutin perjalanan dengan arahan dari mbak-mbak waitress kalo macetnya nggak bakal lama lagi, cuma sampai jalan ke Serang yang emang jalannya jelek banget. Turns out true, setelah itu bisa bernafas lega karena jalannya mulus dan mobil nggak stuck lagi, bisa jalan walaupun kecepatan nggak optimal karena ujan gede.

Sampe daerah Cadas Pangeran yang berkelok-kelok, tanjakan turunan curam luar biasa itu, lho kok stuck lagi? Seremnya karena pas di tanjakan ada di belakang truk gede banget. Sigh, segala skenario Final Destination udah maen di kepala, darn, ini kenapa jalur Pantura malah lebih serem gini dibanding jalur Selatan sik?

Ternyata, jalannya emang jelek, jadi truk-truk gede dan bis-bis malem jalannya harus pelan, belum lagi muatan mereka yang emang banyak. Klise sih, tapi tetep aja kan creepy yah. Dan di kilometer berapa, ternyata ada longsoran gitu. Alhamdulillah nggak terlalu parah dan nggak ada korban jiwa sih.

Masuk kabupaten Sumedang, duh, ini beneran ni jalan dalam kota? Ancur bangeeeeeet. Sampai ada jalan yang diputerin jauh banget, curiga kalo jalannya saking jeleknya nggak bisa dilewatin. Sampe becanda sama temen, dan ngetwit @mynameisrossa ngasih tau kalo jalan di kotanya ancur parah. Apa dia kalo mudik pake heli juga ya, kayak teh Desi pulang ke Sukabumi?

Dan sampai ke Bandung.... jam sepuluh aja dunk teman-teman. Total 16 jam lagi di perjalanan.

Untung banget (untung melulu ya, dasar orang Indonesia), kalo hari itu udah memutuskan stay for a night di Bandung, udah book hotel dan nggak maksain buat langsung cabut ke Sukabumi. Udah nggak ada banget tenaga malem itu.

Our last post will be Bandung. Nggak gitu kemana-mana juga sih karena udah homesick dan pingin pulang (duile..) tapi bisa lah dijadiin satu posting lagi. Stay tune ya! :D

Tegal.. Hanya Lewat!

Berbeda dengan perjalanan perginya, untuk perjalanan pulang kita memutuskan untuk lewat Pantura, karena... Sate Tegal! Hehe, udah berkali-kali denger dan baca kalo sate kambing muda di Tegal itu enak seenak-enaknya, dan beda sama sate kambing lainnya. Penasaran dong. Jadi bela-belain buat pulang lewat Pantura biar bisa lewat Tegal (dan Pekalongan buat beli batik, dan Brebes buat beli telur asin, hahhaa..)

Nanya ke Melati yang asli Tegal, eh nggak asli asli banget sik, ada turunan apa ya, dikasih banyak banget have to visit list, dari mulai sate kambing, soto daan, nasi bogana, dan masih banyak lagi yang sebenernya bingung cara ngejalaninnya. Lah piye di Tegalnya juga cuma lewat, makannya gimana? Akhirnya memutuskan untuk fokus ke tujuan utama yaitu sate kambing. Yang lebih bikin krik krik, Melati cuma bilang kalo sate kambing yang paling enak itu ada di deket rel kereta api. Zzzzz, too much for an information *sarkas* Akhirnya google pula akhirnya, nemu nama Sari Mendo yang sering disebut-sebut.

Berbekal dengan alamat yang ada di website (Jalan Teuku Umar, Debong Tirus), dan maps di Blackberry (I really love this apps!), akhirnya bisa juga lho nemu Sari Mendo ini. Dan kebetulan lokasinya juga tepat setelah persimpangan dengan rel kereta api! Mungkin ini lokasi yang sama dengan yang diceritakan Melati ya?

Lokasinya di pinggir jalan dan cukup mudah ditemukan karena plangnya yang besar (tapi di apps sendiri, lokasi Jalan Teuku Umar ini rada susah dicari dan bandel nggak mau di-search, pe-er banget deh). Sempet takut penuh karena parkirnya penuh banget sampai harus cari tempat parkir sedikit jauh, tapi untunglah Sari Mendo ini ternyata luas dan kapasitasnya banyak!


Ada cemilan tape ketan juga disini, sembari nunggu satenya selese dibakar. Ada keripik tahu juga.

Here we come! Yuuuum.
Senangnya karena pertama kali nyobain sate kambing muda, dan berhasil! Enak dan lembut. Selain itu, daging kambingnya gendut-gendut, nggak tanggung-tanggung. Sesuai perkiraan awal, nggak sanggup lagi makan apa-apa setelah menghabiskan satu porsi yang isinya sepuluh tusuk ini. Satu lagi favorit saya, teh yang disajikan di restoran ini teh poci, jadi harum dan enak rasanya.

Selesai dari Sari Mendo, saya dan suami berangkat untuk cari tahu aci dan oleh-oleh lainnya khas Tegal. Sesuai arahan Melati, tahu aci harus dibeli di Tahu Aci Murni dan oleh-oleh khas Tegal dibeli di Toko Waloejo. Melati nggak ngasih arahan lebih jelas lagi (duh) sehingga akhirnya tetap harus kembali googling. Menurut google, tahu aci murni yang enak itu ada di Tahu Murni Putra dan Tahu Aci Murni Banjaran.

Karena menurut google yang di Banjaran itu cukup jauh dari pusat kota Tegal, akhirnya kita memutuskan untuk ke Tahu Murni Putra yang ada di Jalan Diponegoro. Ternyata lokasinya nggak terlalu jauh dari Sari Mendo, lokasinya berupa toko kecil di pinggir jalan raya, harus sedikit jeli mencari, waktu saya lewat toko itu sedang dikerubuti oleh banyak orang yang membeli.

Di sini saya nggak sempet foto-foto karena harus berdesak-desakan dengan segerombolan remaja yang riweuh beli tahu aci dengan segala variannya. Sebenarnya variannya cuma dua sih, tahu aci dan tahu pletok. Cuma kita bisa pesan yang matang, setengah matang, dan mentah. Untuk yang mentah ini tahan dua hari di suhu ruangan, dan kurang lebih sebulan kalau masuk kulkas. Harga tahu aci ini Rp. 1.000,- per buah, dan tahu pletok Rp. 1.400,- per buah. Kalau mau beli yang mentah, harga tahu acinya menjadi Rp. 2.000,- per buah karena tahu yang diberikan adalah tahu utuh, bukan tahu separuh seperti yang kita dapat kalo membeli tahu aci matang atau setengah matang. Cuma untuk tahu aci mentah ini, saat hendak dimasak, kita harus memotong tahunya menjadi dua dan memasukkan acinya terlebih dahulu, berbeda dengan tahu aci setengah matang yang bisa langsung digoreng.

Udah mirip cooking show aja postingan ini *elapkeringet*

Akhirnya bisa membeli satu besek tahu aci mentah yang isinya 25 buah (dan nantinya akan menjadi 50 potong setelah dimasak, enough Dela with all cooking details. Period), saya dan suami menuju ke Toko Waloejo yang ada di Jalan Veteran. Toko ini juga nggak terlalu jauh dari Tahu Murni Putra, tinggal lurus dari Jalan Diponegoro, lokasinya ada di sebelah kanan. Toko ini sudah cukup tua, dan menurut Melati, menjual banyak sekali oleh-oleh khas Tegal.

Yang saya beli tentunya...PILUS! Pilus Tegal ini terkenal dengan kerenyahannya. Selain itu saya juga membeli lanting dan keripik-keripik lainnya yang nggak saya kenal namanya, tapi keliatan enak (sampai di rumah langsung menyesal kenapa nggak beli keripik lantingnya lebih banyak lagi karena ternyata enak. Terutama yang rasa pedas). Untuk harga juga nggak terlalu mahal, pilus ukuran 500 gram dihargai kalo nggak salah Rp. 4.500,-.

Dari Tegal ke Brebes sendiri nggak terlalu jauh, cuma karena udara panas dan banyak sekali truk yang melimpahi kota ini, sedikit pusing juga mencari telur asin "Setuju Jaya". Belum lagi kondisi lalu lintas yang macet dan tidak kondusif, akhirnya kami gagal menemukan Setuju Jaya. Buat yang nggak saklek sama merk, sepanjang jalan keluar Kota Brebes banyak banget warung-warung di pinggir jalan yang menjual telur asin. Selain itu juga ada telur asin bakar, yang sebenarnya saya penasaran bagaimana rasanya.

Next story, adalah betapa horornya terjebak macet, hujan badai, mati lampu dan longsor di Cadas Pangeran. See you!

[What to do in Semarang?] Running, Family-Friend Time, and (still) Eating!

Off dari Yogyakarta, kita berdua cao ke Semarang dalam rangka... PULANG KAMPUNG! Karena suami asli dari Mranggen, kayaknya ya kebangetan kalo kita nggak mampir gitu ke keluarga disana. Kalo alasan saya pribadi sih pingin nostalgia, secara kampus saya selama kurang lebih empat tahun ada di Semarang, dan terakhir ke Semarang udah bertahun-tahun lalu (lebay, nggak selama itu juga sih, cuma kan nggak sempet maen ke kampus). Sore-sore pas sampe di Semarang, saya udah pesen ke suami buat mampir ke kampus saya di Tembalang, for the sake of makan mie ayam langganan saya dulu :p

Welcome Tembalang!
Surprise banget karena ternyata Cimory buka cabang restorannya di Semarang atas, namanya Cimory on the Valley. Penasaran sik, bagus atau nggak, apakah sebagus Cimory Riverside di Puncak, cuma karena lokasinya lumayan jauh dari tempat kita berdomisili, dan jadwal rada padet (deuh), makanya nggak sempet mampir kesana. 

Selain itu salah-satu tujuan ke Semarang adalah makan di tempat makan yang dulu harganya terlalu berat untuk kantong mahasiswa. It's revenge time! Hahaha, nggak jadi kaya banget juga dunk sekarang, cuma bisa lah bayar satu porsi ayam Arto Moro yang harganya Rp. 25.000,- per porsi itu, sedangkan jaman mahasiswa dulu, berat bangeeeet, soalnya bisa dipake tiga kali makan. :p




Pertama kali masuk kampus tahun 2004 (duh, ketauan deh umurnya) ayam bakar Arto moro ini masih warung pinggir jalan biasa. Rasanya udah enak dari dulu, warungnya rame melulu, dan harganya emang udah diatas rata-rata warung pecel ayam biasa. Dua tahun kemudian, warungnya berubah jadi rumah makan yang bagus, dan jeder harganya makin nggak terjangkau. Makanya hepi banget kalo dulu ada seminar atau rapat yang konsumsinya ayam ini. Sambel pedes yang melumuri ayam kampung, terus tempe cocol sambel kecapnya... enyaaaaak! Yang mau kesini, lokasinya ada di dalem kompleks Undip Tembalang ya, alamat lengkapnya nggak tau, hihi, tanya aja, orang-orang pasti pada tahu.



Mampir juga ke Djatilegi, salah satu restoran yang berada di Banyumanik, tempat kongkow jaman mahasiswa dulu, terutama pas transferan dari orang tua awal bulan baru masuk, hehehe. Lokasinya enak buat nongkrong, jaman dulu saya pasti pemilih banget sama menu disini karena harganya duong, bukan rasanya. Akhirnya bisa kesampaian juga pesen iga bakar pedes yang dulu cuma bisa dimimpiin karena harganya bisa buat dua hari makan, hahahhaa.. Sayang banget, menu favorit saya, es kacang merah, udah discontinue T____T Padahal alasan utama bela-belain kesini cuma buat es kacang merahnya. Untung iganya enak. Djatilegi ini selain di Banyumanik juga punya beberapa cabang di tempat lain, cuma lupa tempatnya dimana, haha..

Sempet ketemu salah satu temen kampus yang sekarang udah kerja di Bina marga. Langsung ta'omelin karena jalan jalur Selatan kemarin yang norak ancurnya luar biasa,hehehehe..
Sempet-sempetnya si suami ngebujukin saya buat nyuci mobil dulu, tapi emang kondisinya sangat menggenaskan setelah perjalanan jauh dari Sukabumi-Yogya-Semarang. Untung di tempat cucinya ada kedai kopi,dan racikannya enak banget. Saya pesan teh stroberi, Rp. 6.000,- saja, suami pesan rempah susu, yang suprisingly very good.
Tri Lomba Juang Semarang. Tanah merahnya caem deh.


Alhamdulillah, di Semarang juga sempetin lari ke GOR Tri Lomba Juang dan memenuhi salah satu bucket list saya kalo ke Semarang, yaitu makan bubur ayam di depan Tri Lomba Juang! Waktu kuliah sempet kesini bareng temen, dan abis itu nggak pernah makan bubur ini lagi, dan terus terbayang-bayang. Hahaha.. Bubur ala Semarang ini rasanya rada unik, apalagi yang lidahnya biasa sama Bubur Sukabumi. Bubur ini pake semacam telur bacem, dan disiram kuah bacem. Maniiiis, seperti masakan Semarang pada umumnya, tapi enak.

Selain itu kemana lagi? Makan lunpia semarang, belanja bandeng di Bandeng Juwana, dan ngeborong brownies buat oleh-oleh di Dyriana (my favorite!). Definitely will be back (since my family live there) dan mudah-mudahan bisa ke Cimory on the Valley on the next visit!

May 13, 2013

[What to do in Yogya?] Having Fun, Eating and Shopping.

Ke SunMor (Sunday Morning).

Tiap pagi di depan kampus UGM yang di Kaliurang itu ada semacam pasar kaget, tempat tenda-tenda makan sama tenda jualan beraneka ragam barang, dari mulai baju, sepatu, tas, rak sepatu, peralatan dapur, dll, dll. Banyak juga mahasiswa jualan nasi bungkus, barang second, lukisan foto, dan masih banyak benda-benda lucu lagi. Kalo tujuan kita sih buat nyari sarapan disana. Walaupun udah dikasih sarapan banana toast, tapi mana cukup ya buat seharian itu? =p Pilihannya jatuh ke nasi pecel telur dan es milo di salah satu tenda yang ada disana.


Selain itu, masih banyak pilihan lainnya dari mulai bubur ayam, lontong kari, lontong padang, ketoprak, dll, dll. Breakfast heaven!

Berburu Gudeg Wijilan.

Di Yogya ada sebuah jalan, namanya Jalan Wijilan yang merupakan sentra gudeg di kota itu. Sepanjang jalan, isinya gudeg melulu. Hasil googling, gudeg terenak yang ada disini namanya Gudeg Yu Djum, pusatnya ada di Kaliurang, cuma dia baru buka cabang di Wijilan. Harganya sedikit pricey, untuk nasi gudeg dengan dada ayam kampung Rp. 30.000,- per porsi, tapi enaaaaaaak! Enak seriusan, best gudeg I've ever had. So far.


Belanja Cokelat Monggo.
Coklat Monggo ini cokelat produksi Indonesia asli walaupun ternyata foundernya adalah bule dari Belgia. Rasanya nggak kalah sama coklat produksi luar seperti Delfi atau Cadbury. Untuk toko pusat dan pabrik terletak di Kota Gede, tapi karena lumayan jauh, kita cuma datang ke toko cabangnya yang ada di Tirtodipuran. Pingin sik maen ke pabriknya juga, karena bisa liat proses pembuatannya. Si Monggo ini juga baru buka outlet ketiganya di Paris Van Java Bandung, jadi nggak usah jauh-jauh ke Yogya.




Beli berbagai rasa dari mulai strawberry, mango, milk, macadamia, dan red chilli. Baru nyobain yang milk aja karena yang lain akhirnya dibagi-bagi, dan enak! Basicnya coklat Monggo ini dark chocolate, nggak terlalu manis, kecuali yang milk chocolate yang rasanya lebih manis.

Titik Nol Kilometer Yogya dan Benteng Vredeburg
Tentunya saya juga ke Malioboro dan Mirota Batik. Cuma karena waktu kesana lagi akhir minggu, dan banyak banget orang (lupa banget kalo sekarang lagi liburan akhir sekolah, huff), akhirnya nggak bisa menikmati sama sekali dan cuma inget dempet-dempetannya aja. Besok Seninnya, balik lagi ke Jalan Malioboro, cuma dari ujung yang berbeda.

Monumen Batik



Dulu udah pernah masuk ke Benteng Vredeburg dan sekarang pingin ngajakin suami, tapi tutup! Di Yogya ini banyak yang tutup hari Senin deh, Ullen Sentalu ini juga tutupnya hari Senin.

Lari di Mandala Krida.
Alhamdulillah niat baik lari selama liburan tercapai, nggak nyesel udah packing baju olahraga dan sepatu. Mandala Krida ini sebenernya oke deh, sayang banget kurang terawat. :(


Makan pizza di Nanamia Pizzeria.
Tempat makan pizza ini hits banget deh, jadi penasaran mau kesini, bela-belain sebelum cao ke Semarang. Lokasinya di Jalan Mozes Gatotkaca B.13 dan baru buka jam 12 siang. Inget ya, jam 12 siang! Saya sampai kesana jam setengah satu, dan masih harus nunggu pizzanya sekitar 25 menit karena oven kayunya masih dihangatkan. Dan sempet nyasar karena ada yang salah nge-tag lokasi di Maps jadi di belakang Plaza Ambarukmo. Duh, untung lokasi aslinya nggak jauh, letaknya di jalan belakang Yogyakarta Plaza Hotel yaa..


Thin crust pizzanya juara! Enaaaak seenak enaknya, duh, ada nggak sih yang jual pizza seenak ini disini? Saya pesan Pollo Funghi Medium yang isinya ada ayam dan jamurnya, dan Pepite di Polio, yaitu nugget dengan saos mayones. Nama menunya emang aneh-aneh, tapi ada deskripsi dan keterangan di bawahnya kok. Soal harga kurang lebih ampir sama dengan Pizza Hut. Selama saya dan suami makan, ada koki Italia bolak-balik dapur, cuma kurang jelas juga sih, apakah itu beneran kokinya atau aktor Italia yang disewa in the name of marketing. =p

Definitely will be back to Yogya! Mudah-mudahan next time bisa datengin pantai-pantai di Gunung Kidul yang terkenal cantiknya itu ya!

Bye bye Yogya!

[What to do in Yogya?] Ullen Sentalu Museum dan Beukenhof Restaurant

Kita datang ke Yogya tanpa bekel itinerary apa-apa karena tema liburan yang free and easy (lagian kapan sik Dela dan Rohadi punya itinerary? Wait, never? Hahaha..) Jadi waktu Minggu pagi membuka mata, rada bingung gitu mau kemana. Langsung google dengan keyword, "tempat wajib dikunjungi di Yogya" dan "10 tempat terbaik di Yogya" muncul deh nama Ullen Sentalu ini. Pertama denger museum, si suami rada melengos gini, tapi karena inget pernah baca review ini, saya rada keukeuh juga maksain untuk kesini. Apalagi review di trip advisor sangat merekomendasikan untuk kesana.

Setelah berunding, diputuskan kita akan mengunjungi Ullen Sentalu ini. Berbekal dengan alamat dari website dan maps di BB, off we go. Lokasi museum ini terletak di Kaliurang, hampir mendekati kaki Gunung Merapi, sekitar 1.5 jam dari pusat kota. Ternyata lumayan jauh juga dari Kota Yogyakarta, masuk-masuk ke jalan pedesaan, tapi jangan kuatir, kita aja yang cuma berbekal maps dan nanya ke orang (sekali!) bisa sampai ke museum itu. Kalo di Maps, namanya bukan Ullen Sentalu, tapi Museum Seni dan Budaya Jawa.


Harga tiket masuknya itu Rp. 25.000,- per orang, buat saya yang nggak pernah masuk museum sik udah keitung murah ya, tapi obrol-obrol sama temen yang suka pacaran di museum (haha), tiket ini termasuk mahal, karena biasanya dia masuk museum kalo nggak gratis,ya dipatok seharga Rp. 3.000,- - Rp. 5.000,-. Ebuset, masa sih? Hehehe..

Museum ini didirikan oleh Keluarga Haryono pada tahun 1994, awalnya merupakan museum pribadi, tapi pada tahun 1997 didirikan ulang dan mendapatkan sokongan dari Pemerintah DI Yogyakarta dan Kesultanan. Setiap rombongan ditemani oleh tour guide yang nantinya akan menemani kita puter-puter museum sepanjang tour yang berdurasi 50 menit - 1 jam ini.

No doubt, this is the best museum I've ever seen! Sayang banget di kompleks museumnya nggak boleh foto, hiks, padahal banyak banget tempat yang fotogenik. Bentuk lokasinya menyerupai gua, setau saya memang dibentuk seperti Gua Selo Giri. Kita nggak boleh ketinggalan mbak-mbak tour guidenya terutama di kompleks kedua yang kayak labirin, kalo nggak bisa kesasar. Tour guidenya enak banget, jelasin secara eksplisit dan nggak cuma text book aja. Ullen Sentalu ini penuh dengan ruangan terbuka, jadi nggak heran kalo di websitenya ditulis "diharapkan membawa payung".




Area yang boleh foto-foto cuma depan pas mau masuk, dan di belakang pas mau keluar.
Si suami semangat banget, secara dia nyambung banget sama historis Jawanya. Tapi seru juga sih, liat lukisan tiga dimensi yang mata-nya bisa ngikutin kita kemanapun kita pergi (hiii..). Tapi nggak mistis kok suasananya,  apalagi kalo rame-rame, hihihi.. Ada arca yang dipinjemin dari Dinas Purbakala, patung-patung kece, surat-surat asli dari putri dan keluarganya jaman dulu, baju menikah, replika dari perhiasan anggota kerajaan (karena yang aslinya disimpan oleh Kesultanan). 50 menit tournya blas nggak kerasa. Harus kesini deh, seenggaknya once in a lifetime. Sayang banget kalo nggak bisa liat museum sekeren ini, di Indonesia pula.

Setelah capek puter-puter museum, kita makan di Beukenhof Restaurant, restoran ala Belanda yang ada di kompleks museum itu juga. Kece deh restorannya.





Hore, Dela akhirnya bisa makan pasta! Sayangnya rasa si spaghetti bolognaise nggak sekece tampilan restorannya. Hiks. Biasa banget deh, nggak asik. Untungnya si nasi goreng Keumhul yang dipesen suami enak, jadi akhirnya ngerusuhin suami deh sama makanannya. Hehehe.. Pingin beli dessert-nya juga yang tampaknya asik, menilik dari meja sebelah, tapiii.. takut kenyang, secara pulang dari sini mau makan lagi. Hahaha..

Salah satu highlight liburan kali ini, adem jadi betah berlama-lama. Re-visit? Nggak tau deh, untuk museumnya sekali aja udah oke kayaknya, restorannya sih pingin datang lagi, pingin nyobain menu-menu lain.

Ullen Sentalu
Jl Boyong Kaliurang, Sleman Yogyakarta 
(Tel. +62 274 895161)