Pages

December 26, 2012

[MOVIE REVIEW] Life of Pi


Setelah sebulan lewat dari tanggal perdana penayangannya, dan hampir semua bioskop sudah menurunkan film ini dari studionya, secara susah payah saya mencari bioskop mana yang masih menayangkan film ini. Akhirnya hari Minggu kemarin bersama suami, saya pergi ke Botani Square, sekaligus berniat untuk menonton film "Habibie & Ainun" (reviewnya di posting berikutnya ya.)

Ngomong-ngomong tentang film ini, jadi inget bukunya yang masih tergeletak manis di lemari, minta dibaca. Bukan berarti saya belum pernah baca, tapi pertama dan terakhir kali saya baca bukunya secara skimming sekali (karena malas dan berpikir ceritanya berat sekali sih). Inti ceritanya si, tentang seorang anak pemilik kebun binatang bernama Pi, yang ketika sedang menaiki kapal ke Kanada, terjebak badai dan kapal yang dinaikinya karam. Pi selamat karena sebelumnya sempat dilemparkan oleh seorang anak buah kapal ke sebuah sekoci. Di sekoci ini, Pi terombang-ambing bersama seekor zebra, seekor orang utan, seekor hyena, dan seekor Macan Bengali bernama Richard Parker.
Lalu Pi mulai beranjak remaja, dan jatuh cinta pada seorang gadis. Sayang hal ini terputus karena keluarga Pi memutuskan untuk pindah ke Kanada dan memulai hidup baru disana. Pi remaja ini yang mengalami pengalaman menakjubkan di sekoci.
Pi dewasa membuka film dengan luwes dan penuh misteri, dimana dia bertemu dengan seorang penulis yang berniat untuk menulis cerita tentang Pi. Saya suka dengan pemeran Pi dewasa, dan ternyata dia juga pernah main di film The Amazing Spiderman.

Saya lupa cerita di bukunya, sudah lama sekali sejak saya membaca buku itu, tapi kalau di film, kisah hidup Pi dibagi menjadi tiga bagian. Pi kecil, dimana waktu itu dia menjadi bulan-bulanan teman sekolahnya karena namanya yang aneh, yaitu Piscine. Selain itu juga masa kecil Pi dipenuhi dengan pendalamannya kepada tiga agama, Hindu, Katolik dan Muslim. Saya suka sekali dengan anggota keluarga Pi yang memiliki beraneka ragam perspektif, Ibu Pi yang sangat religius, dan ayahnya yang sekuler, karena pada masa kecilnya dia menderita polio dan diselamatkan oleh obat-obatan barat.

Saat berada di sekoci, Pi mengalami beberapa pengalaman, yang menakjubkan (favorit saya adalah scene ikan paus! It's really beautiful I could cry.), yang menyedihkan (sebagai pencinta binatang, saya paling nggak tega melihat binatang tersakiti), dan juga yang hampir tidak dapat dipercaya (hello pulau karnivora!). Karakter favorit? Tentu saja Richard Parker! Dari awal, rasanya sulit menyukai binatang ini, terutama karena sikapnya yang ganas dan karnivor. Tapi setelah kurang lebih setengah film berjalan, I thought I'll be cursing damn loud if something happened with him. Apalagi ketika ada salah satu scene dimana Richard Parker yang kelaparan tercebur karena berusaha mencari makan, dan dia tidak bisa naik lagi ke sekoci. Melihat Richard Parker yang bergelantungan ke sekoci hanya dengan menancapkan kukunya ke tepian sekoci, rasanya saya bisa merasakan perasaan Pi yang tidak tega untuk membunuh binatang itu setelah sekian lama merasa terancam olehnya.

Kalau saya pernah baca-baca di beberapa sumber di internet, wawancara dengan Yann Martel, Life of Pi ini bercerita tentang keimanan seseorang. Bagaimana kita bisa meyakini sesuatu, walaupun sesuatu itu tidak mungkin. Dan bagaimana kita bisa memilih sudut pandang, dan memilih cerita yang paling sesuai dengan hati kita untuk diyakini. Karena seperti itulah kita dengan Tuhan bukan? Endingnya tidak mengejutkan untuk saya yang pernah membaca novelnya, tapi mungkin bagi yang belum akan merasa terkejut, dan menimbang-nimbang dimana sebenarnya kebenaran itu terletak.

Life of Pi. 4 of 5. Very recommended. Watching in 3D or IMAX won't hurt. Ang Lee FTW!

PS. 
Ada pengalaman yang kurang mengenakkan waktu menonton di Botani Square XXI. Saya dan suami memesan ice blend green tea dan ice blencinno, waktu itu kasirnya bilang akan diantarkan kedalam. Saya setuju, karena biasanya tidak ada masalah dengan itu. Setengah jam film berlangsung, pesanan kami belum diantarkan, padahal saya sudah melihat pesanan beberapa orang diantarkan. Setelah sejam tidak datang, saya menjadi tidak sabar danmeminta suami untuk keluar studio. Ternyata menurut suami, pesanan kami sudah jadi, namun entah mengapa tidak diantarkan. Kasir yang ada tidak dapat memberi penjelasan. Sungguh sangat disayangkan, karena untuk harga yang menurut saya cukup mahal, pelayanan yang diberikan seharusnya sudah mumpuni. Suami saya sempat berniat untuk melapor ke manager, tapi karena waktu itu di sekitar XXI Cafe tidak terdapat manager, dan suami saya takut ketinggalan film yang saat itu masih berlangsung, suami saya mengurungkan niatnya.
Update
Komplain telah saya layangkan melalui @cinema21, dan telah mendapat tanggapan berupa permintaan maaf dari admin. Saya hanya berharap bahwa kejadian seperti ini tidak terulang lagi, karena sangat merugikan pelanggan yang telah membayar mahal untuk makanan maupun minuman.

No comments:

Post a Comment