Pages

April 06, 2023

Geez

I miss writing. Writing nonsenses, writing what you feel without thinking too much or pausing in the middle of the sentence, considering words to type. I started writing in very young age, at 5 I was scribbling in my diary, and continued until I was in college, I have a box full of diaries with embarrassing content at home. After internet era (yeeeessss, I live between no-internet and internet guys, you must've already guess which generation I am in), I moved into blogspot and social media. Social media had been growing in very rapid (and I must say scary) way. Not that I didn't enjoy it. I just..... sometimes miss the old times. We kinda forced to follow fast pace in life, microblog, three to five minutes in Instagram, visual contents in Tiktok. It's not all bad, and some are very educating and inspiring, but I really miss bloghopping. Maybe I am just feeling nostalgic. Pretty sure every era has its ups and downs. I saw a graph one day on Instagram, describing relationship between age and time spent for yourself, family, colleagues, and so on, and I think my age is precisely when I am enjoying myself and limiting myself to others. Is it that bad? No, I think it is because I finally recognize myself and comfortable with it. I know who I am, what I want to be in life, what I want to contribute. Is it easy? Every day is struggle, there are good times and bad times. This morning, I was in really high pressure when I was deciding to open my old blogspot, and oh my god. Simplest time. Slower pace.

But, there is no going back, isn't it. So, let's move forward. As Charon said in John Wick, "Such is life".

November 12, 2020

November

 November guys! How've you been? Pheeeew, I can't believe 2020 is almost over, it passed like whooshes and left nothing? It's not that everything is bad and gruesome, some things were bearable and passable, but like bare-minimum only? It's like we've only tried to pass and survive our days with nothing intended. Some days were okay, some days were worse than other. There were nights when my eyes kept open and my thoughts wouldn't stop thinking the worse. This year is so hard. Hard, hard and hard. Human knew that they couldn't plan future, but uncertainty still killing us this time. I wish we could do better, but I think survive is maybe our best effort, and do some little things to help each other? Help is required, humanity is tested. Maybe we'll survive this, maybe we won't?

January 21, 2020

Tentang Zafran dan Speech Delay part 2

Wow.

Blog ini masih ada ya wow.

Jujur saya sedikit terkejut karena barusan ada yang email saya mengenai postingan saya disini. Ternyata blog saya masih ada yang baca lho! Ya dimaklumi sih, untuk ibu dengan anak speech delay atau spektrum lainnya pasti rajin googling pengalaman ibu sejenis, untuk mengatasi kepusingan sehabis konsultasi dengan profesional.

Jadi ibu ini tanya perkembangan Zafran sekarang seperti apa. Apakah Zafran  masuk SD untuk anak berkebutuhan khusus? Terapinya bagaimana? Apa yang orang tuanya lakukan hingga saat ini?

Hingga Desember 2019 kemarin Zafran masih terapi wicara dan okupasi sebanyak masing-masing dua jam per minggu. Mulai bulan Januari ini, saya dan ayahnya memutuskan Zafran stop terapi dengan beberapa alasan, diantaranya adalah:

  1. Zafran sudah dapat berkomunikasi dua arah. Walaupun dibandingkan perkembangan teman seusianya yang bisa membentuk kalimat panjang dan lengkap, dia masih belum bisa mengejar, akan tetapi dia sudah bisa menyampaikan kalimat-kalimat pendek, dan merespon pertanyaan.
  2. Motorik Zafran juga masih tidak sama dengan perkembangan teman-teman seusianya, akan tetapi menurut saya sudah cukup lumayan. 
  3. Terapi Zafran lokasinya cukup jauh dari rumah, dan bulan Juli dia sudah masuk ke SD. Saya berpikir akan cukup melelahkan kalau terapinya dilanjut, apalagi rencananya SD nanti akan saya masukkan ekskul atau les tambahan. Selain itu, jam terapinya membuat Zafran sering pulang duluan dari TK, sehingga sedikit mengganggu aktivitasnya.
SD yang saya pilih kemarin kebetulan adalah sekolah alam inklusi yang menyediakan guru shadow. Akan tetapi, ketika dilakukan trial, Zafran dapat masuk ke kelas normal. Tentunya ini disesuaikan dengan penilaian kepada masing-masing anak, dan saya serta suami juga akan legowo apabila pada pertengahan tahun pelajaran, misalnya sekolahnya memutuskan Zafran membutuhkan guru shadow. Selama Zafran di TK, Zafran cukup bisa mengikuti pelajaran, walaupun menurut gurunya Zafran sedikit "malas" bersosialisasi dengan anak seumurannya. Saya menarik kesimpulan, karena apabila bersosialisasi dengan orang dewasa, orang dewasa akan cepat mengerti meskipun Zafran cuma berbicara sepatah dua patah kata.

Selama pengalaman terapi saya kurang lebih empat tahun ini, saya belajar sesuatu. Untuk anak dengan kebutuhan khusus seperti Zafran, tidak ada milestone pasti untuk setiap anak, walaupun diberikan terapi yang sama. Ada yang berkembang dengan cepat, ada yang berkembang dengan lambat, ada yang tidak berkembang sama sekali. Ini bukan berarti saya mencoba membuat semangat orang tua yang lain down ya. Tapi memang karena spektrum kebutuhan khusus ini luas sekali, setahu saya belum ada ilmu pastinya bagaimana cara menyembuhkan anak. Bahkan setahu saya, setiap anak yang berkebutuhan khusus pasti akan "berbeda" dengan anak normal lainnya. Banyak yang bilang, Zafran termasuk beruntung karena terapinya "manjur" dan Zafran sudah bisa berkomunikasi dengan normal. Tapi untuk orang-orang yang berinteraksi dengan Zafran setiap harinya, pasti masih bisa merasakan "keanehan" yang dimiliki Zafran. 

Pengalaman dibully? Oh tentu pernah. Ada beberapa saat dimana Zafran disebut "aneh" oleh teman-temannya. Yah, untungnya anaknya belum mengerti, yang sakit hati tentu saja ibunya.Contohnya, masih ada yang bertanya kenapa Zafran masih belum bisa naik sepeda roda dua. Bagi anak-anak normal tentu saja pertanyaan itu wajar saja. Tapi untuk anak dengan kekurangan motorik kasar seperti Zafran, tentu saja sebenarnya saya sedikit kesal dengan pertanyaan tersebut, walaupun orang yang bertanya mungkin tidak mengetahui kondisi yang sebenarnya.

Saat ini Zafran sudah bisa menulis, walaupun kelihatan gripnya masih lemah. Ini juga PR buat saya, karena jujur, sejak saya berkerja kembali, saya meng"outsource"kan pengasuhan Zafran ke mbak di rumah. Otomatis pasti kegiatan-kegiatan yang bersifat theurapetic juga berkurang kan? Plus minus sih, di satu sisi Zafran juga sudah banyak berkegiatan di luar rumah.

Kalau ditanya masih galau nggak tentang masa depan Zafran, tentunya wajar untuk setiap orang tua galau tentang masa depan anak. Saya masih bertanya-tanya apakah nanti Zafran bisa memiliki teman-teman dekat, apakah Zafran bisa berkerja dengan normal, apakah Zafran akan bisa berkeluarga? But, one step at the time. Until next time.

PS. Terima kasih, mbak Citra untuk emailnya. :) :)

January 14, 2018

To the Moon and Back

Punya anak berkebutuhan khusus membawa banyak perubahan di dalam hidup saya. Yang paling terasa sih, saya menjadi less-competitive person. Rasanya sejak kecil saya selalu diberikan ekspektasi yang (saya pikir) cukup tinggi, harus selalu rangking satu, masuk akselerasi, IPK almost 4, orang tua saya tidak mau menandatangani buku ulangan kalau nilainya dibawah sembilan. Saya menjadi orang yang sangat kompetitif, not that a bad thing, dan mungkin sedikit entitled (?) karena (hampir) selalu bisa memenuhi seluruh ekspektasi yang diberikan kepada saya. Menjadi mahasiswa di umur 16 dan lulus di umur 20? Lumayan juga kan?

Jeleknya, saya selalu merasa terlalu keras dalam hidup saya sendiri. Once, my boyfriend (now my husband) said to me, you treat yourself too harsh. Gak pede. Selalu merasa ada yang kurang. Perfeksionis? Entahlah. Dan ini terbawa sampai saya kerja dan menikah.

Ketika saya punya Zafran, jujur saya mengingatkan diri sendiri, saya HARUS menerima anak ini apa adanya. Maybe, I would be half tiger mom, but yeah.. I really didn't know. Eh, turned out ternyata Zafran memiliki speech delay. Anaknya impulsif. So far Zafran tidak (belum?) didiagnosa masuk ke spektrum autis atau ADHD, tapi impulsivitasnya dinilai cukup tinggi.

Dan, punya anak seperti Zafran mengubah saya. Bisa dibilang hikmah? I don't know. But I learn to slow things down. Cool it a bit. Let it go. Ada beberapa jenis orang di hidup ini, ada yang menganggap hidup sudah sulit, why's so serious? Ada yang menganggap kerja keras dalam hidup ini sangat dibutuhkan karena untuk itulah kita hidup. Saya juga tidak tahu yang mana yang paling benar. Tapi saya belajar kalau ternyata menyederhanakan sesuatu, mengambil "pause" dalam hidup itu penting. Saya nggak mau mengatakan ini pengorbanan, karena saya yang memilih untuk punya anak (walau beberapa kali tersirat dalam hati sih, duuuuh Mama rasanya sudah berkorban banyak banget buat kamu nak..) jadi untuk bilang saya sudah berkorban demi Zafran rasanya gak fair kan?

Saya belajar untuk memperlambat hidup. Being less-competitive. Berhenti kerja, which is not gonna happen with five years ago-Dela. Gila lah, jadi wanita karir, memiliki gaji yang tinggi dan membawa keluarga saya ke next level wealthness itu salah satu goal saya dulu. Zafran masuk bilingual preschool? Zafran bisa menyusun tiga kata tanpa tercerai berai aja saya sudah alhamdulillah.

Jadi, walaupun terdengar amat klise, memang segala sesuatu itu ada hikmahnya. Note to myself, punya Zafran itu ada hikmahnya.




--- this is a self reminder how lucky I am to have you, son ---

To the moon and back ๐Ÿ’œ๐Ÿ’œ

January 01, 2018

Auld Lang Syne

As we grew up (or old?), hub and I started to ignore all these New Year brouhaha. This year is no exception. Yes, we ordered some deliveries but only because little one suddenly woke up at 10 pm and wouldn't get to sleep again. Guess he'd like to celebrate New Year after all. Or not. He was freaking out of firework. Not a big fan. He asked to be hugged every time he heard fireworks. So yeah.

2017 was awesome yet tiring for me. For us. We made some big decisions, life-changing ones (for us!). We spent almost half of our savings to renovate our little home. Thank God the result was amazing. But then, we made decision to move from that-said home to another city, simply because we wanted to live together as family, not having long distance one as we'd been living since many years ago.

So yeah, financially we're doomed. Haha. I was having severe homesick, although all this time I was the one who'd been buggering my husband to move out. I missed sleeping in my own bed, cooking in my own kitchen. But reality set in. Now this is our home too. Not perfect with freaking hot weather, but maybe let's try to live with it?

Little things happened too. I'd been learning to drive since last 2016, but in 2017 I started to drive on my own. 2017 marked the beginning of my job as my son's private Uber driver. Hahaha. Now I can proudly say that I've been experiencing some inter-state driving (and one of them, it was only both of us, my son and I, I still think it was some miracle), but I still sucks at parking. Why why why it's so difficult.

I do hope 2018 will be good to us. To everyone. I'll be 30 in 2018! Is it insane? Let's start the anti aging skin care regime then!

September 07, 2017

Long Weekend Kemarin...

Awalnya nggak ada rencana kemana-mana. Eh, sempet kepikiran buat ke Semarang.. cuma rasanya waktunya terlalu mepet dan suami nggak bisa extend cuti jadi yasudahlah... nggak usah dipaksain juga. Last minute akhirnya memutuskan buat staycation aja di dalam kota, karena males juga buat kemana-mana. The curse of being parents? No. I think this is the curse of being.... old. Hahaha... Deciding to stay at Hotel Anugerah because it has best coffee shop in town, and its dessert menus, and their pizzas. And it's located near a tasty ice cream joint in town. Dan Hotel Horison full booked karena Presiden Jokowi is in the town dan nginep disitu.

Singkat cerita, menyenangkan sekali sih. Berenang sampai sore, malemnya order in room dining trus masih tambah bungkus dari RM Ibu Bunut yang lokasinya cuma selemparan batu aja (dan yang katanya Jokowi juga makan disitu kemarinnya). Ngemil es krim dua scoop plus toping beng-beng dan FREE popcorn cuma habis 35.000 SAJA. No wonder kemarin ada selebgram (?) jalan-jalan ke Sukabumi dan semacam freaked out betapa murahnya pricelist restoran disini.

Kita bertiga cuma stay satu malam, karena asalnya mau malam mingguan di rumah aja.. eh tahu-tahu suami ngajakin caps ke Bandung. Berdua aja. Hahaha.. udah lama juga sih gak nginep berdua aja. So long, so long. Akhirnya titip Zaf ke neneknya, booking hotel dadakan dan off we go. Dari awal udah wanti-wanti diri sendiri nggak usah ambisius lah target kemana-mana, woles aja.. yang penting bisa jajan thai tea sama d crepes. Bahagia itu kadang emang receh banget deh.

Dan emang gak kemana-mana loh. Cuma mampir ke mall deket hotel aja, karena setelah enam tahun lamanya akhirnya sepatu lari saya jebol juga (I don't get any point in having more than one running shoes so I have no spare) jadi emang niatnya cuma mau ke Planet Sports aja cari sepatu lari. Dan jajan d crepes. Tetep ya. Makan malam kita delivery hokben aja ke hotel. Hahahaha.. We keep repeating we're getting old so we don't sweat the small stuffs, tapi emang dari dulu kalo lagi sama suami emang sukanya yang simple dan pasti-pasti aja sih. Mau hotel atau tempat makan. Kalau nyobain yang baru atau lagi hype enaknya sama temen-temen aja. We also didn't get the point of ngantri panjang dan lama-lama buat nyobain sesuatu yang baru dan lagi trending. We're that old. Haha.

Besoknya walaupun udah kenyang banget makan breakfast buffet di hotel, tapi sumpah kepo banget makan Cuanki Serayu padahal masih jam 11 siang. Tapi ternyata best timing sih pas sampai lokasi belum begitu ramai. Pas tengah-tengah kita makan baru deh orang berdatangan dan parkir udah mulai habis aja. Enak sih... tapi yaudahlah sebatas tahu aja, kalau sampai desek-desekan balik kesini sih nggak mau juga.

That's it. Now I am craving more holidays and breakfast buffets. Yeah right.. betapa sulitnya menurunkan dua kilo pasca Lebaran Idul Fitri dan hanya butuh long weekend tiga hari buat menaikkannya lagi. Lyfe.

September 05, 2017

Tentang Zafran dan Speech Delay

Beberapa kali saya ingin membahas masalah delayed speech pada Zafran, cuma semacam kurang pede euy. Karena keterbatasan pengetahuan dan informasi, yang saya tahu ya cuma dari dokter dan hasil googling dari forum-forum semata aja. Jadi disclaimer postingan ini.... saya hanya bercerita sesuai pengalaman yang sudah saya alami dan konsultasi dari beberapa dokter dan psikolog yang menangani Zafran ya.

Cerita awalnya dari mana ya... secara umum tumbuh kembang Zafran memang termasuk normal, walau selalu saja mepet deadline. Saya lupa sih, kapan pertama kali dia membalikan badan, duduk, merangkak, berdiri dan berjalan, tapi seingat saya semuanya masih masuk ke range normal, walaupun selalu saja di akhir-akhir batas usianya. Saya nggak terlalu cemas pada saat itu, toh katanya dulunya juga ayahnya termasuk terlambat berjalan.

Usia 22 bulan Zafran masih belum bisa berbicara, baru bisa babbling “Enah... enah...”. Itupun saya sebenarnya tidak begitu khawatir, walaupun menurut “kurikulum” seharusnya anak 22 bulan sudah harus bisa menguasai beberapa vocabulary. Hanya pada saat itu saya membuat kesepakatan dengan ayahnya, apabila pada saat usia 2 tahun Zafran belum ada perkembangan, akan kami konsultasikan dengan spesialis anaknya.

Saat Zafran usia 24 bulan, dan belum ada perkembangan dari babblingnya saat itu, saya dan suami datang ke spesialis anak langganan kami. Kebetulan DSA ini juga mengikuti tumbuh kembangnya Zafran, dan dia langsung menyimpulkan sepertinya anak kami memiliki speech delay. Waktu itu kami khawatir sih, cuma karena kurangnya informasi, ya kami menyangka kalau speech delay itu hanya terlambat berbicara tok. DSA mereferensikan kami ke dokter rekam medis, setelah dikonsultasikan dan tes pendengaran (alhamdulillah pendengaran Zafran baik-baik saja, sebenarnya waktu itu selain babbling Zafran juga sudah mulai bisa humming beberapa lagu, hanya memang belum bisa berkata sepatah katapun), Zafran didiagnosa speech delay. Dokter rekam medis saya di Hermina akhirnya “meresepkan” terapi wicara seminggu sekali.

Waktu itu pun saya mengira speech delay ini hanya berpengaruh terhadap kemampuan bicara saja. Zafran memang aktif, walau belum bisa disebut hiper, dan concentration span-nya pendek sekali. Tapi kan memang anak-anak belum bisa berkonsentrasi dalam jangka waktu lama bukan? Zafran sama sekali tidak suka nonton TV pada saat itu, tidak suka duduk bermain, senangnya jalan atau lari-lari saja kesana kemari di rumah. Nonton video pendek dia masih senang, hanya saya batasi karena salah satu saran dari terapisnya adalah mengurangi audio visual di rumah. Orang-orang di sekitar saya berkata, “Ah, anak kecil kan memang seperti itu, gak mau diem” atau “Ah itu mah anaknya belum bisa aja kali, nanti juga bisa sendiri” atau “Anak gw juga dulu gitu kok, nanti juga pinter sendiri udah gedean”, akhirnya saya mencoba membiarkan, walau rasanya memang ada yang salah dengan konsentrasi Zafran.

Selain itu, walaupun Zafran termasuk lincah, akan tetapi Zafran tidak suka bermain di playground yang ada tantangannya. Misal naik perosotan, naik ayunan, naik tangga atau semacamnya, sementara teman-teman sebayanya asyik memanjat-manjat. Naik sofa aja dia nggak mau lho. Inipun saya maklumi dalam hati, karena yaaa.. mungkin memang tipe anak saya seperti itu.

Selain itu, Zafran pun sulit diberi makanan yang keras. Ini memang sedikit banyak salah saya, karena waktu itu saya terlalu menyerahkan perihal makanan kepada pengasuh. Saya memang memasak makanan Zafran sendiri, akan tetapi pengasuh saya sering mengeluh apabila makanan tersebut tidak berkuah karena menurutnya Zafran sulit menelan. Waktu Zafran masih 8 atau 9 bulan pun saya pernah memergoki nasi tim yang saya siapkan dihaluskan lagi oleh pengasuh saya agar mudah ditelan. Padahal saya ingin Zafran bisa belajar mengunyah, akan tetapi saya saat itu pada posisi yang sangat membutuhkan pengasuh, dan akhirnya saya biarkan saja.

Setelah empat bulan terapi wicara, Zafran mengalami banyak perkembangan. Walaupun pengucapannya banyak yang tidak begitu jelas, Zafran sudah mulai mengenal beberapa kosa kata. Pengucapannya baru satu huruf, dan pertanyaannya belum terlalu jelas, akan tetapi pengenalan terhadap benda-benda di sekitarnya sudah lumayanlah. Akan tetapi komunikasi dua arahnya masih jelek sekali. Singkat cerita saya belum bisa ngobrol sama anak saya sendiri.

Pada saat itulah ada ketakutan Zafran menderita autisme. Dokter rekam mediknya meyakinkan saya bahwa Zafran tidak autis, karena responnya masih baik. Akan tetapi memang komunikasi dua arah, konsentrasi dan motorik kasar dan halusnya masih jelek sekali. Kemudian Zafran “diresepkan” terapi Sensori Integritas dan Okupasi untuk melatih konsentrasi dan motorisnya. Oh iya, waktu itu apabila Zafran diajak mengobrol, alih-alih menjawab, dia malah menirukan (imitasi) apa yang saya katakan. Dokter rekam mediknya juga menyarankan agar di rumah Zafran sering-sering diajak berbicara tentang apa saja, agar terbiasa berkomunikasi dan menambah kosa katanya.

Dua bulan setelah itu saya resign. Selain lelah dengan pekerjaan, saya juga merasa bersalah dengan kondisi anak saya. Saya tahu kalau mungkin ini bukan salah saya semata, tapi dokter berkata salah satu penyebab speech delay anak saya adalah kurangnya stimulasi di rumah. Memang benar ada anak yang tumbuh kembangnya baik-baik saja tanpa harus ada stimulasi apapun, tapi sayangnya anak saya tidak termasuk anak-anak itu. Penyebab lain speech delay adalah oral-motor issues yang dapat disebabkan oleh autisme. Akan tetapi dokter saya meyakinkan saya kalau Zafran tidak autis, dan penyebabnya lebih ke stimulasi dan efek psikologis dari cara membesarkan anak di rumah.

Setelah Zafran setahun diterapi, saya berinisiatif mendatangi salah satu psikolog yang juga memiliki development center untuk anak berkebutuhan khusus. Tempat terapinya ini sudah ada dimana-mana jadi sepertinya kredibilitasnya cukup baik. Saya menanyakan hal yang sama, apakah anak saya memiliki autisme. Jawabannya tetap tidak. Zafran memiliki apa yang dinamakan speech delay in absentia, dimana gangguan konsentrasinya cukup parah. Dia juga mengiyakan apa yang dikatakan dokter rekam medik saya yang terdahulu, bahwa penyebabnya adalah stimulasi dan cara parenting di rumah. Selama ini saya membiarkan Zafran menggunakan tangan kanan dan kirinya, ternyata itu tidak dianjurkan. Saya baru tahu kalau Zafran sebaiknya dianjurkan menggunakan tangan kanannya, agar otak kirinya bisa terus bekerja, dan meningkatkan daya konsentrasinya. Hanya boleh menggunakan satu bahasa saja di rumah. Tidak mengiyakan permintaan anak kecuali si anak mengatakan apa maunya. Terkadang saya suka mengambilkan susu misalnya apabila Zafran menunjuk susu. Hal itu sebaiknya dihindari, supaya anak bisa menyampaikan maunya melalui kata-kata.

Selain itu penggunaan gadget, tv atau bentuk audio visualnya saya kurangi. Zafran diminta diet gula dan gluten oleh psikolognya, dan saya ikuti. Sebisa saya. Hehehehe. Untungnya Zafran belum dibiasakan jajan, sehingga dia jarang meminta biskuit atau wafer. Roti dan mie juga saya kurang seminggu sekali. Yang sulit memang kerupuk (!) dan susu uht vanilla, karena sejak lepas ASIP, Zafran saya beri sufor berperasa, jadinya setelah itu dia tidak mau susu UHT yang plain.

Saat ini Zafran mengikuti 4 jenis terapi, behaviour therapy, sensory integrity, terapi wicara dan okupasi terapi. Total terapinya enam jam saja seminggu. Selain itu Zafran saya ikutkan playgroup dari Senin sampai Jumat untuk mengasah aspek sosialnya, karena salah satu efek dari speech delay ini adalah kurangnya tingkat sosial anak dan kesulitan bonding dengan teman sebaya. Banyak kok yang komentar kasian banget anak umur tiga tahun sudah “disekolahkan” sedemikian rupa. Saya juga kadang kasian kok liat Zafran. Cuma sekarang anaknya sudah terbiasa, jadi sepertinya dia enjoy saja. Tidur siang saja sudah jarang. Untungnya sekolah alam dan tempat terapi yang dia ikuti punya konsep yang fun, sehingga anaknya seperti diajak bermain. Saat ini malah Zafran lebih excited kalau harus terapi dibanding sekolah, hehe..

Di rumah saya juga melakukan “terapi” pada Zafran. Dari mulai saya ajak bicara terus-terusan, menggambar, mewarnai, membaca kartu. Sebenarnya hal-hal yang remeh keliatanya, tapi percaya deh sulit dilakukan pada anak yang tingkat konsentrasinya rendah.

Sekarang usia Zafran tiga tahun tujuh bulan. Tepat hari ini. Kosa katanya sudah lumayan sekali, terapisnya bilang dia termasuk anak yang mudah mengingat. Sudah bisa berkomunikasi lumayan baik, walau kadang-kadang orang lain (selain saya) suka kurang memahami perkataannya. Masih suka out of place di tengah pembicaraan, yang diomongin apa, tau-tau dia nyeletuk apa atau nyanyi apa. Sulit dijelaskan, bakalan tahu kalau sudah pernah berinteraksi dengan Zafran. Sudah bisa naik tangga sendiri, tapi turun tangga masih suka takut. Sudah mau main perosotan, walau kadang suka mandeg di puncak atau teriak-teriak heboh pas meluncur kebawah.

Kadang saya suka takut membayangkan masa depan anak saya. Saat ini semuanya masih abu-abu, suami saya sih bilang sepertinya Zafran itu normal walau termasuk yang terlambat. Saya masih takut sih, walaupun saya yakin pasti ada jalan kedepannya. Tahun depan Zafran seharusnya masuk TK A, apakah dia sudah bisa dimasukkan TK? Apa dia bisa masuk SD sesuai dengan jadwalnya? Saya nggak tahu. Yang pasti saat ini saya dan suami berusaha memberikan yang terbaik aja buat Zafran, selama kami bisa.


August 23, 2017

After Resign

Nggak kerasa awal September nanti adalah tepat satu tahun setelah saya berhenti bekerja. Seriusan nggak kerasa, Satu tahun, saya nggak nyangka saya bakal bisa betah di rumah selama itu. Saya kira sebentar saja saya bakal merengek frustasi ke suami supaya bisa kerja lagi (it happened! Sometimes!) atau stress karena di rumah terus-terusan. Banyak sekali perubahan di kehidupan saya, cerita sedikit saja ya... siapa tahu ada yang mau membaca dan terinspirasi untuk resign juga :p

Keuangan

Dari awal merencanakan untuk mengundurkan diri, memang keuangan merupakan salah satu hambatan utama saya. Karena suami dan saya merupakan kelas pekerja, ya kalo nggak bekerja ya udah, nggak bisa ngapa-ngapain. Nggak bisa berharap dari orang tua apalagi warisan. We are one of that sandwich generation, kalo kata Ligwina Hananto. Makanya keuangan menjadi concern utama, bagaimana nanti dana pendidikan Zafran, bagaimana membantu orang tua dan adik masing-masing, dan bagaimana KPR lunas (!!!). Itu garis besarnya sih. Tapi jauh di lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya saya sedikit ngeri mengubah lifestyle. Hahahaha, receh banget nggak sih? Tapi jujur aja, pasti ada yang mikirin ini juga kaaaan? Masih bisa jalan-jalan keluar pulau (atau keluar negeri) tiga bulan sekali atau nggak (which is sulit juga dilakukan waktu saat bekerja sih, permohonan cuti aja diinterogasi setengah mati #curcol), masih bisa nongkrong cantik di coffee shop favorit apa enggak, masih bisa beli liquid lipstick sekaligus enam apa enggak (lagian beli sekaligus enam, bibir cuma satu -___-). Saya juga berpikir seperti itu, walaupun beberapa teman saya meyakinkan kalau ketakutan itu nggak akan terjadi. Kuncinya adalah suami yang pengertian. Hahaha...

Setelah saya resign dan saat ini belum memiliki penghasilan sendiri, ketakutan saya banyak yang nggak terbukti lho. Kok masih bisa ya pergi kesana sini, have fun, online shopping dimana-mana? Tentunya semua juga terbatas sih, tapi jaman dulu bekerja juga semua ada batasnya juga. Mengalami tanggal tua? Sebelum dan setelah bekerja saya masih mengalami tanggal tua. Jadi perbedaannya apa?

Tampaknya pekerjaan saya yang bikin stress setengah mati membuat saya menganggarkan satu post keuangan untuk membuat saya tetap waras. Nah itulah biasanya yang membludak setengah mati. Sekarang saya di rumah jarang punya waktu luang membosankan untuk googling online shop dan tiba-tiba klik sana sini dan belanja. Kadang terjadi sih. Tapi nggak separah dulu waktu masih bekerja. Intinya nggak seseram yang saya bayangkan sebelum ini. Minimal, walaupun dana pensiun masih belum terkumpul tapi dana darurat sih masih ada yaaaa...

Kenapa nggak usaha, cari uang sendiri? Kan akan lebih baik kalau wirausaha, jadi womenpreuner atau apapun itu? Yang pertama, nggak bakat. Hahaha.. Yang kedua, pemalas. Iya loh, saya pemalas. Yang ketiga, ada satu alasan yang sebenarnya malas diceritakan disini karena kesannya pembelaan diri aja, jadi kita skip aja yaaa... #nggakniat

Sehari-hari

Sebelum resign : Kerja
Setelah resign : Kerja

Loh kok sama sih? Ya iya emang, kadang malah saya nggak punya banyak waktu buat leyeh-leyeh di rumah karena harus jadi uber driver, koki, guru dan dokter buat anak saya. Emang ya, punya anak sekarang itu riweuh banget, jaman dulu kayanya dilepas aja bebas. Tapi emang mau apa anak dilepas kesana kemari? Belum awal-awal resign saya menganggap ibu rumah tangga harus accomplish yang sama dong sama ibu bekerja. KPI-nya harus memuaskan. Tapi capek banget loh kaya gitu, malahan jadi suka kesel sama anak sendiri. Mending yang cukup-cukup aja, cukup memuaskan.
Kangen kegiatan kantor? Ih, banget. Tapi bukan kangen kerjanya. Kangen bisa istirahat sebentar sehabis makan siang. Kangen bisa makan siang dan ngobrol sama temen kantor. Kangen gajian. Ah, ini mah saya aja kali, kurang berambisi.

Happy nggak?

Pernah baca di blog seseorang, kalau nggak salah Leija's, kalo happiness is process, not result. Menurut saya ya kebahagiaan saya saat ini ya proses juga. Naik turun. Sama ajalah pas masih bekerja. Kadang ada saatnya saya wondering, hidup begini amat ya, udah susah-susah cum laude tetep aja berkutatnya di dapur. Tapi ada saatnya juga saya menyesal kenapa nggak resign dari anak saya lahir aja dan megang anak sepenuhnya. Kadang saya sedih nggak bisa bantu suami cicil-cicil KPR. Tapi kadang saya juga senang saat ini bisa punya waktu senggang, bisa lari pagi, bisa belajar masak dan bisa berkomunikasi sama anak lebih baik.

Jadi resign jangan?

Ya jangan lah. Hahahahaha. Semua tergantung sih, saya merasa pekerjaan saya yang dulu not worth it. Makanya resign. Bukannya saya bilang kalau ada pekerjaan yang sebanding sama anak dan keluarga ya, tapi saya percaya kalau perempuan itu punya hak untuk memilih. Lagipula kebahagiaan ibu saat berpengaruh kepada kebahagiaan keluarganya juga, ya nggak?